Kesetaraan
gender memang sudah menjadi hal yang lumrah diperbincangkan untuk negara-negara
besar atas nama hak asasi manusia. Namun pada prakteknya beberapa negara yang
mengklaim dirinya sebagai negara yang menyetarakan gender justru mengekang hak
perempuan. Keteraraan gender ini bermula dari sejarah panjang perempuan pada
zaman dahulu yang dijadikan sebagai properti bagi negara dan kaum laki-laki. Hal
ini yang pada perkembangannya menimbulkan pemberontakan untuk menyetarakan
gender, menurut para pemikir barat. Perlakuan yang semena-mena terhadap
perempuan membuat mereka berjuang untuk berada diposisi yang sama dengan
laki-laki atas nama HAM. Menurut Machiavelli, perempuan merupakan properti
dimana laki-laki bebas berhungan dengan perempuan tanpa adanya ikatan
pernikahan dan anak mereka adalah milik negara yang akan dipelihara oleh
negara.
Peristiwa sejarah ini sangat
membekas untuk perempuan hingga keluarlah Feminisme dari yang biasa hingga yang
ekstrimis dimana membenci laki-laki. Di zaman yang modern ini, tuntutan untuk
menyetarakan gender semakin luas terutama dinegara penganut demokrasi seperti
Amerika. Demokrasi ala barat yang menjunjung tinggi kebebasan pada akhirnya
memunculkan kebebasan untuk menyatakan hak perempuan hingga mereka membentuk
kelompok feminis tersebut. Memang penulis akui bahwa kesetaraan gender membawa
perempuan dalam kemuajuan diberbagai bidang yang sebelumnya sangat dikekang
oleh kaum lelaki. Namun, tidakkah kita sadari bahwa hakikat perempuan tidak
bisa disama-ratakan dengan lelaki menurut Islam? Menurut kaca mata Islam, agaknya
kita terlalu terlenan dengan sistem pemerintahan demokrasi dan segala kebebasannya
hingga melupakan kodrat kita sebagai perempuan.
Bukan hanya negara demokrasi yang
menyatakan kesamaan gender seperti Amerika Serikat, namun negara komunis
seperti Cina juga menganut hal yang sama. Cina baru-baru ini menyatakan dalam
sidang PBB bahwa negaranya menjunjung tinggi kesetaraan gender (www.cnnindonesia.com, 2015). Hal ini langsung
menjadi perbincangan manakala fakta mengatakan bahwa Cina telah menahan lima
perempuan di hari Perempuan Internasional (www.cnnindonesia.com,
2015). Akibatnya Cina melalui pernyataan Presiden Cina, Xi Jinping mendapat
kritikan dari rivalnya Amerika Serikat. Amerika Serikat berpendapat bahwa Cina
terlalu percaya diri dalam menyatakan atas kesetaraan gender dimana pada
kenyatannya justru menahan perempuan di Hari Perempuan Internasional. Kemudian hal
ini dipertegas oleh Cina dengan menjanjikan memberi sumbangan sebesar US$10
juta pada badan gender PBB.
Hal ini dapat penulis analisa dimana
masih ada saja negara yang mempermainkan gender untuk kepentingan negaranya. Meskipun
tuntutan kesetaraan gender terus dikumandangkan, namun tetap saja dari
peristiwa ini menunjukkan bahwa masih rendahnya perempuan dimata laki-laki. Memang
tidak semua negara bertindak demikian, seperti negara Islam dimana
memperlakukan perempuan dengan baik hingga mereka tidak perlu menuntut
kesetaraan gender karena telah terpenuhi haknya sebagai perempuan sesuai dengan
Islam. Amerika Serikat dan Cina memiliki kesamaan sejarah dimana menepatkan
perempuan serendah-rendahnya. Namun perbedaannya berada pada sistem
pemerintahan dimana Amerika Serikat menganut sistem demokrasi liberal ,
sedangkan Cina yang menganut sistem komunis dimana ada kontrol dari pemerintah.
Pandangan gender menurut Islam
sesungguhnya adalah dimana menempatkan perempuan dibawah laki-laki karena Allah
mencipkatan keduanya berbeda, maka hak yang diterima berbeda pula. Perempuan pada
hakikatnya harus patuh terhadap laki-laki selama laki-laki tersebut masih
beriman kepada Allah. Dalam Islam, tugas perempuan atau seorang istri adalah
berbakti kepada suaminya. Namun hal ini seiring berkembangnya zaman mendapatkan
kritikan dari pemikir barat dimana perempuan dihapus haknya untuk bebas. Hal ini
pulalah yang membuat yang membuat perempuan merasa terkekang haknya dan
kemudian menuntut kesetaraan gender.
Barat memandang Islam sebagai agama
yang tidak memperhatikan hak asasi manusia disegala aspek kehidupan contohnya
dalam HAM, kebebasan dan gender. Islam dalam pandangan dunia barat dan kelompok
liberal (moderat) adalah agama yang tidak memberikan kesempatan dalam
menghargai wanita atau dipahami secara parsial (Gonda Yumitro, t.t). seperti
yang penulis jelaskan sebelumnnya, hal ini yang mengakibatkan banyak negara
menyetarakan gender atas HAM yang bukan hanya berlaku untuk laki-laki, namun
juga untuk perempuan. Menurut pandangan Islam apa yang dilakukan barat untuk
menyamaratakan gender adalah salah dimana dalam penciptaannya, Allah
menciptakan dengan berbeda detail dema
detailnya. Maka, kembali bahwa hukum
Islam berbeda dengan ideologi barat. Apa yang dilakukan Islam semata-mata untuk
menyelamatkan umatnya dari segala macam yang membahayakan mereka dan
menyadarkan kodrat sebagai manusia.
Kembali pada apa yang dilakukan oleh
Cina, sebenarnya membuktikan bahwa perempuan tidak akan pernah setara dengan
laki-laki. Terbukti dengan perlakuan pemimpinnya yang masih menyepelekan
perempuan demi kepentinga negaranya. Penulis tidak ingin membenarkan perlakuan
Cina terhadap perempuan, namun penulis ingin memberikan salah satu bukti bahwa
gender pada akhirnya dijadikan alat untuk mendapatkan kepentingan. Kesetaraan gender dibeberapa negara memang membawa
keberhasilan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik dan lain
sebagainya. Namun jika dari sudut pandang Islam, perempuan tidak bisa
disetarakan dengan laki-laki. Bukankah kita Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam? Maka secara logika, kekuatan perempuan tidak akan sama dengan laki-laki. Maka,
kita sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran tidak memena-mena menggunakan
akal-pikiran saja, namun kita harus kembalikan pada hakikat kita sebagai
perempuan yaitu berada dibawah laki-laki atau pahut pada suami.
Sumber
Gonda Yumitro, Islam and Gender, dalam http://gondayumitro.staff.umm.ac.id/,
diakses pada tanggal 22 September 2015 pukul 20.12
CNN
Indonesia, Cina Dikritik Soal Rekam Jejak Hak Perempuan, melalui http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150928030101-113-81265/china-dikritik-soal-rekam-jejak-hak-perempuan/,
diakses pada 22 November 2015 pukul 20.22